- Trump dan Putin Bertemu di Alaska Bahas Ukraina, Disambut Flyover Bomber B-2 dan Jet Tempur F-35
- Bupati Siak Akui Tunggakan Sewa Mobil Dinas Capai Rp 8,3 Miliar, Sebagian Sudah Dibayar
- BI Batalkan Peluncuran Payment ID 17 Agustus, Fokus Uji Coba Hingga 2026
- Demo Besar di Pati Tuntut Bupati Mundur, DPRD Bentuk Pansus Pemakzulan
- Aktivis Perempuan, Salmah Hidayani Desak Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban dalam Kasus Peleceh
- Kisah anak SD tolak gadget tapi lebih pilih taklukan Gunung Rinjani
- Hasil Sinergi, Pembangunan Markas PMI Lebak Dimulai
- Kreatif ! Pemuda Desa Anyar Ubah Sampah Jadi Karya Seni
- Amir Abdul Hadi, Datang Tanpa Ribut, Langkahnya Memberi Perubahan
- Tarian Pacu Jalur Riau Viral di Dunia, Gekrafs: Potensi Besar Bangkitkan Ekonomi Lokal
RUU TNI Disahkan: Jalan Pulang ke Dwifungsi ABRI?
Opini Urbaners : Jaka Dony

Keterangan Gambar : Ilustrasi Revisi UU TNI
Baca Lainnya :
- Melawan Pengadilan, Trump Kirim Ratusan Gangster Venezuela ke El Savador0
- 3 Polisi Gugur Dengan Luka Tembak di Kepala, Saat Gerebek Tempat Judi Diduga Milik Oknum TNI0
- Pesawat Jet Tempur China Jatuh dan Meledak di Pulau Hainan0
- Ronald Tannur ungkap hubungannya dengan Dini Sera Hanya Sebatas FWB0
- Kabar baik, THR ASN Cair Hari ini. Swasta Kapan? 0
Opini oleh : Dony Pratama
Dewan Perwakilan
Rakyat akhirnya mengetukkan palu. Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI resmi
disahkan, membawa perubahan besar dalam aturan yang mengatur peran militer di
Indonesia. Pemerintah menyebut revisi ini sebagai upaya adaptasi terhadap
tantangan zaman, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ini lebih dari sekadar
revisi teknis. Ada tanda-tanda bahwa kita sedang menyaksikan pembelokan arah
reformasi militer yang dulu diperjuangkan pasca-1998.
Salah satu
perubahan paling mencolok adalah bertambahnya jumlah kementerian dan lembaga
yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya hanya 10, kini menjadi
14, mencakup badan-badan strategis seperti Badan Penanggulangan Bencana, Badan
Keamanan Laut, hingga Kejaksaan Republik Indonesia. Perubahan ini menimbulkan
pertanyaan mendasar: apakah ini langkah maju dalam tata kelola pertahanan, atau
justru kemunduran menuju praktik lama dwifungsi ABRI yang dulu membuat militer
bercokol dalam pemerintahan sipil?
Reformasi 1998
dengan jelas membatasi peran TNI agar kembali fokus pada tugas pertahanan.
Namun, dengan revisi ini, batas itu mulai dikaburkan. Jika prajurit aktif
dibiarkan masuk ke birokrasi, maka kontrol sipil atas militer akan semakin
lemah. Pemerintah memang berkilah bahwa kehadiran TNI dalam sektor-sektor
strategis tetap berada dalam koordinasi yang ketat, tetapi tanpa batasan yang
jelas, sangat mungkin peran ini berkembang lebih jauh hingga ke ranah yang seharusnya
menjadi domain sipil.
Di saat yang
sama, revisi ini juga memperpanjang usia pensiun perwira tinggi hingga 63
tahun, dengan peluang perpanjangan lebih lanjut atas keputusan presiden.
Sepintas, ini terlihat seperti kebijakan administratif biasa, tetapi
implikasinya jauh lebih dalam. Perubahan ini berpotensi menghambat regenerasi
di tubuh TNI, memperpanjang dominasi para jenderal senior, dan pada akhirnya
memperlambat dinamika kepemimpinan yang segar dalam militer.
Yang juga patut
dicermati adalah perluasan tugas TNI dalam operasi militer selain perang. Kini,
mereka diberi kewenangan untuk menangani ancaman siber serta menyelamatkan
warga negara di luar negeri. Kedengarannya penting, tetapi bukankah ini justru
memperbesar kemungkinan tumpang tindih dengan lembaga lain? Ancaman siber
selama ini ditangani oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sementara
perlindungan warga negara di luar negeri jelas merupakan ranah Kementerian Luar
Negeri. Dengan semakin banyaknya tugas yang diberikan kepada TNI, kita harus
bertanya: apakah kita sedang membangun militer yang serbabisa, atau justru
menciptakan militer yang terlalu dalam mencampuri urusan sipil?
Namun, yang
lebih mengkhawatirkan dari semua ini bukan hanya substansi undang-undangnya,
tetapi bagaimana ia disahkan. Prof. Mahfud MD menyoroti bahwa proses
pembahasannya dilakukan secara tertutup, minim partisipasi publik, dan terkesan
dijalankan dengan cara kucing-kucingan. Ini bukan cara yang sehat dalam
demokrasi. Sebuah revisi undang-undang yang berdampak besar terhadap hubungan
sipil-militer seharusnya dibahas secara terbuka, agar publik bisa ikut
mengawasi dan memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan
nasional, bukan hanya kepentingan segelintir elite.
Jika pola
pembuatan undang-undang yang tertutup ini terus berlanjut, kita bukan hanya
berhadapan dengan persoalan perluasan peran militer, tetapi juga dengan praktik
legislasi yang semakin tidak transparan. Demokrasi tidak hanya soal hasil
akhirnya, tetapi juga bagaimana kebijakan dibuat. Ketika kebijakan disusun
tanpa keterlibatan publik, maka akuntabilitasnya patut dipertanyakan.
Semua ini
membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: apakah kita sedang menuju
demokrasi yang lebih kuat atau justru kembali ke model pemerintahan di mana
militer memiliki pengaruh besar di ranah sipil? Jika sejarah mengajarkan kita
sesuatu, maka satu hal yang pasti—ketika militer terlalu dalam bercokol di
birokrasi, yang dikorbankan bukan hanya supremasi sipil, tetapi juga demokrasi
itu sendiri.
