RUU TNI Disahkan: Jalan Pulang ke Dwifungsi ABRI?
Opini Urbaners : Jaka Dony

By Redaksi 21 Mar 2025, 21:51:54 WIB Politik
RUU TNI Disahkan: Jalan Pulang ke Dwifungsi ABRI?

Keterangan Gambar : Ilustrasi Revisi UU TNI





Baca Lainnya :

Opini oleh : Dony Pratama

Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengetukkan palu. Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI resmi disahkan, membawa perubahan besar dalam aturan yang mengatur peran militer di Indonesia. Pemerintah menyebut revisi ini sebagai upaya adaptasi terhadap tantangan zaman, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ini lebih dari sekadar revisi teknis. Ada tanda-tanda bahwa kita sedang menyaksikan pembelokan arah reformasi militer yang dulu diperjuangkan pasca-1998. 

Salah satu perubahan paling mencolok adalah bertambahnya jumlah kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya hanya 10, kini menjadi 14, mencakup badan-badan strategis seperti Badan Penanggulangan Bencana, Badan Keamanan Laut, hingga Kejaksaan Republik Indonesia. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini langkah maju dalam tata kelola pertahanan, atau justru kemunduran menuju praktik lama dwifungsi ABRI yang dulu membuat militer bercokol dalam pemerintahan sipil? 

Reformasi 1998 dengan jelas membatasi peran TNI agar kembali fokus pada tugas pertahanan. Namun, dengan revisi ini, batas itu mulai dikaburkan. Jika prajurit aktif dibiarkan masuk ke birokrasi, maka kontrol sipil atas militer akan semakin lemah. Pemerintah memang berkilah bahwa kehadiran TNI dalam sektor-sektor strategis tetap berada dalam koordinasi yang ketat, tetapi tanpa batasan yang jelas, sangat mungkin peran ini berkembang lebih jauh hingga ke ranah yang seharusnya menjadi domain sipil. 

Di saat yang sama, revisi ini juga memperpanjang usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun, dengan peluang perpanjangan lebih lanjut atas keputusan presiden. Sepintas, ini terlihat seperti kebijakan administratif biasa, tetapi implikasinya jauh lebih dalam. Perubahan ini berpotensi menghambat regenerasi di tubuh TNI, memperpanjang dominasi para jenderal senior, dan pada akhirnya memperlambat dinamika kepemimpinan yang segar dalam militer. 

Yang juga patut dicermati adalah perluasan tugas TNI dalam operasi militer selain perang. Kini, mereka diberi kewenangan untuk menangani ancaman siber serta menyelamatkan warga negara di luar negeri. Kedengarannya penting, tetapi bukankah ini justru memperbesar kemungkinan tumpang tindih dengan lembaga lain? Ancaman siber selama ini ditangani oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sementara perlindungan warga negara di luar negeri jelas merupakan ranah Kementerian Luar Negeri. Dengan semakin banyaknya tugas yang diberikan kepada TNI, kita harus bertanya: apakah kita sedang membangun militer yang serbabisa, atau justru menciptakan militer yang terlalu dalam mencampuri urusan sipil? 

Namun, yang lebih mengkhawatirkan dari semua ini bukan hanya substansi undang-undangnya, tetapi bagaimana ia disahkan. Prof. Mahfud MD menyoroti bahwa proses pembahasannya dilakukan secara tertutup, minim partisipasi publik, dan terkesan dijalankan dengan cara kucing-kucingan. Ini bukan cara yang sehat dalam demokrasi. Sebuah revisi undang-undang yang berdampak besar terhadap hubungan sipil-militer seharusnya dibahas secara terbuka, agar publik bisa ikut mengawasi dan memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan segelintir elite. 

Jika pola pembuatan undang-undang yang tertutup ini terus berlanjut, kita bukan hanya berhadapan dengan persoalan perluasan peran militer, tetapi juga dengan praktik legislasi yang semakin tidak transparan. Demokrasi tidak hanya soal hasil akhirnya, tetapi juga bagaimana kebijakan dibuat. Ketika kebijakan disusun tanpa keterlibatan publik, maka akuntabilitasnya patut dipertanyakan. 

Semua ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: apakah kita sedang menuju demokrasi yang lebih kuat atau justru kembali ke model pemerintahan di mana militer memiliki pengaruh besar di ranah sipil? Jika sejarah mengajarkan kita sesuatu, maka satu hal yang pasti—ketika militer terlalu dalam bercokol di birokrasi, yang dikorbankan bukan hanya supremasi sipil, tetapi juga demokrasi itu sendiri.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment